Halaman

Kamis, 15 Maret 2012

Kesultanan Palembang Darussalam (1550 – 1823)

Sejarah mengenai Kesultanan Palembang dapat dimulai pada pertengahan abad ke-15 pada masa hidupnya seorang tokoh bernama Ario Dillah atau Ario Damar. Beliau adalah seorang putera dari raja Majapahit yang terakhir, yang mewakili kerajaan Majapahit bergelar Adipati Ario Damar yang berkuasa antara tahun 1455-1486 di Palembang Lamo, yang sekarang ini letaknya dikawasan 1 Ilir. Pada saat kedatangan Ario Damar ke Palembang, penduduk dan rakyat Palembang sudah banyak yang memeluk agama Islam dan Adipati Ario Damar pun mungkin kemudian memeluk agama Islam, konon namanya berubah menjadi Ario Abdillah atau Ario Dillah (Dalam bahasa Jawa damar = dillah = lampu).

Ario Dillah mendapat hadiah dari Raja Majapahit terakhir Prabu Kertabumi Brawijaya V salah seorang istrinya keturunan Cina (kadang-kadang disebut juga Puteri Champa) yang telah memeluk Islam dan dibuatkan istana untuk Puteri. Pada saat puteri ini diboyong ke Palembang ia sedang mengandung, kemudian lahir anaknya yang bernama Raden Fatah. Menurut cerita tutur yang ada di Palembang, Raden Fatah ini lahir di istana Ario Dillah di kawasan Palembang lamo (1 Ilir), tempat itu dahulu dinamakan Candi ing Laras, yaitu sekarang terletak antara PUSRI I dan PUSRI II. Raden Fatah dipelihara dan dididik oleh Ario Dillah menurut agama Islam dan menjadi seorang ulama Islam. Sementara itu hasil perkawinan ario Dillah dengan puteri Cina tersebut, lahirlah Raden Kusen yaitu adik Raden Fatah lain bapak.

Setelah kerajaan Majapahit bubar karena desakan kerajaan-kerajaan Islam, Sunan Ngampel, sebagai wakil Walisongo, mengangkat Raden Fatah menjadi penguasa seluruh Jawa, menggantikan ayahnya. pusat kerajaan Jawa dipindahkan ke Demak. Atas bantuan dari daerah-daerah lainnya yang sudah lepas dari Majapahit seperti Jepara, Tuban, Gresik, Raden Fatah mendirikan kerajaan Islam dengan Demak sebagai pusatnya (kira-kira tahun 1481). Raden Fatah memperoleh gelar Senopati jimbun Ngabdu'r-Rahman Panembahan Palembang Sayidin Panata'Gama.

Hubungan Palembang dengan Demak


Raja Kerajaan Demak Raden Fatah wafat tahun 1518 dan digantikan puteranya Pati-Unus atau Pangeran Sabrang Lor yang wafat tahun 1521, kemudian digantikan saudara Pati-Unus yaitu Pangeran Tranggono yang wafat pada tahun 1546 (makam-makam mereka ada di halaman Mesjid Demak). Setelah pangeran Tranggono wafat terjadi perebutan kekuasaan antara saudaranya (Pangeran Seda ing Lepen) dan anaknya (Pangeran Prawata). Pangeran Seda ing Lepen akhirnya dibunuh oleh Pangeran Prawata, Kemudian Pangeran Prawata beserta keluarganya dibunuh pada tahun 1549 oleh anak Pangeran Seda ing Lepen yang bernama Arya Panangsang atau Arya Jipang. Demikian juga menantu Raden Tranggono yang bernama Pangeran Kalinyamat dari Jepara juga dibunuh. Arya panangsang sendiri dibunuh oleh Adiwijaya juga seorang menantu Pangeran Tranggono atau terkenal dengan sebutan Jaka Tingkir yang menjabat Adipati penguasa Pajang. Akhirnya Keraton Demak dipindah oleh Jaka Tingkir ke Pajang dan habislah riwayat Keraton Demak. Kerajaan Demak hanya berumur 65 tahun yaitu dari tahun 1481 sampai 1546.

Dalam kemelut yang terjadi atas penyeranga Demak oleh Pajang ini, berpindahlah 24 orang keturunan Pangeran Tranggono 9atau keturunan Raden Fatah) dari kerajaan Demak ke Palembang, dipimpin oleh Ki Gede Sedo ing lautan yang datang melalui Surabaya ke Palembang dan membuat kekuatan baru dengan mendirikan Kerajaan Palembang, yang kemudian menurunkan raja-raja atau sultan-sultan Palembang. keraton pertamanya di Kuto Gawang, pada saat ini situsnya tepat berada di kompleks PT Pusri, Palembang. Dari bentuk keraton Jawa di tepi Sungai Musi, para penguasanya beradaptasi dengan lingkungan Melayu di sekitar. Terjadilah suatu akulturasi dan asimilasi kebudayaan Jawa dan Melayu, yang dikenal sebagai Kebudayaan Palembang.

Hubungan Palembang dengan Mataram


Pindahnya pusat kerajaan Jawa dari Demak ke Pajang menimbulkan pergolakan baru setelah wafatnya Jaka Tingkir. Pajang yang diperintah Arya Pangiri diserang oleh gabungan dua kekuatan, dari Pangeran Benowo (putra Jaka Tingkir yang tersingkir) dan kekuatan Mataram (dipimpin Panembahan Senopati atau Senopati Mataram, puter Kiyai Ageng Pamanahan atau Kiyai Gede Mataram). Akhirnya Arya Pangiri menyerah kepada Senopati Mataram dan Keraton Pajang dipindahkan ke Mataram (1587) dan mulailah sejarah Kerajaan Jawa Mataram. Senopati Mataram sendiri merupakan keturunan Raden Fatah dan Raden Tranggono yang masih meneruskan dinastinya di Jawa, sehingga dapat dipahami eratnya pertalian antara Palembang dan Mataram pada masa itu, yang terus berlanjut hingga masa pemerintahan Raja Amangkurat I (silsilah raja yang keempat). Sampai akhir 1677 Palembang masih setia kepada Mataram yang dianggap sebagai pelindung, terutama dari serangan kerajaan Banten. Sultan Muhammad (1580 - 1596) dari Kesultanan Banten pada tahun 1596 pernah menyerbu Palembang (diperintah Pangeran Madi Angsoko) dengan membawa 990 armada perahu, yang berakhir dengan kekalahan Banten dan wafatnya Sultan Muhammad. Penyerbuan ini dilakukan atas anjuran Pangeran Mas, putera Arya Pangiri dari Demak.

Tetapi tidak lama kemudian terdapat golongan yang ingin memisahkan diri dari ikatan dengan Jawa khususnya generasi mudanya. Sementara itu kekuasaan raja-raja Mataram juga berangsur berkurang karena makin bertambahnya ikut campur kekuasaan VOC Belanda di Mataram, sehingga dengan demikian kekuasaan dan hubungan dengan daerah-daerah seberang termasuk Palembang juga merenggang.

Hubungan Palembang dengan VOC


Palembang yang semula merupakan bagian dari kekuasaan Mataram mulai mengadakan hubungan dengan VOC, dengan demikian timbul kecurigaan dari penguasa Mataram dan dampaknya adalah makin merenggangnya hubungan Palembang dengan Mataram. Kontak pertama Palembang dengan VOC pada tahun 1610. Pada awalnya VOC tidak banyak berhubungan dengan penguasa Palembang, selain saingan dari Inggris, dan Portugis serta Cina, juga sikap penguasa Palembang yang tidak memberikan kesempatan banyak kepada VOC. VOC menganggap penguasa Palembang terlalu sombong; dan menurut VOC hanya dengan kekerasan senjatalah kesombongan Palembang dapat dikurangi, sebaliknya Palembang tidak mudah digertak begitu saja.

Semasa pemerintahan Pangeran Sido ing Kenayan yang didampingi istrinya Ratu Sinuhun di Palembang dan Gubernur Jenderal di Batavia Jacob Specx (1629 - 1632) telah dibuka kantor perwakilan dagang VOC (Factorij) di Palembang. Kontak ditanda tangani 1642, tetapi pelaksanaannya baru pada 1662. Anthonij Boeij sejak tahun 1655 ditunjuk sebagai wakil pedagang VOC di Palembang dan sementara tetap tinggal di kapal karena belum punya tempat (loji) di darat. VOC sendiri telah sejak tahun 1619 ingin mendirikan loji (kantor) dan gudang di Palembang. Pembangunan loji dari batu mengalami kesulitan karena pada saat yang sama didirikan bangunan-bangunan antara lain keraton di Beringin Janggut, Masjid Agung dan lain-lainnya. Mula-mula loji didirikan diatas rakit, kemudian bangunan dari kayu yang letaknya di 10 Ulu sekarang di atas sebuah pulau yang dikelilingi Sungai Musi, Sungai Aur, Sungai Lumpur sambungan dari Sungai Tembok. Bangunan permanen dari batu baru dibuat pada tahun 1742. Tindak-tanduk mereka ini tidak menyenangkan orang Palembang karena antara lain ia menyita sebuah jung Cina bermuatan lada.

Kemudian VOC menggantinya dengan Cornelis OCkerz (dijuluki -- si Kapitein panjang) yang tadinya dicadangkan untuk jadi perwakilan di Jambi. Ockerz datang dua kali di bulan Juni 1658 ke Palembang yang terkhir ia menahan beberapa kapal diantaranya milik putera mahkota Mataram. Terjadilah bentrokan yang kemudian dapat didamaikan. Pada tanggal 22 Agustus 1658 beberapa bangsawan Palembang (a.l Putri Ratu Emas, Tumenggung Bagus Kuning Pangkulu, Pangeran Mangkubumi Nembing Kapal, Kiai Demang Kecek) naik ke atas kapal yacth Belanda, yang bernama Jacatra dab de Wachter, dan membunuh Ockerz beserta 42 orang Belanda lainnya serta menawan 28 orang Belanda. Peristiwa ini karena kecuranga-kecurangan serta kelicikan orang-orang Belanda termasuk Ockerz. Kemudian untuk membalaskan tindakan orang Palembang ini Belanda mengirimkan armadanya yang dipimpin Laksamana Johan Van der Laen dan pada 24 November 1659 membakar habis kota dan istana Sultan di Kuto Gawang (1 Ilir). Pangeran Mangkurat Seda ing Rejek akhirnya menyingkir ke Inderalaya (makamnya di Saka Tiga).


Sketsa yang tertua mengenai Kraton Palembang, dibuat pada tahun 1659, sesaat sebelum Kraton dan Kota Palembang Lama ini dibakar habis oleh Kompeni


Suasana Perang Palembang – VOC tahun 1659

Perang Palembang --- Kompeni


Yang pertama dimulai 4 November 1659, akibat perlawanan Palembang atas kekurangajaran hasil wakil VOC di Palembang, dengan armada terbesar di bawah pimpinan Laksamana Johan Van der Laen. Palemabang akhirnya direbut Belanda pada tanggal 23 November 1659 Keraton Kuto Gawang dan pemukiman penduduk, dan tempat orang-orang Cina, Portugis, Arab, dan bangsa-bangsa lain yang ada di seberang Kuta tersebut dibakar habis selama 3 hari 3 malam. Sultan Abdurahman memindahkan keratonnya ke Beringin Janggut (sekarang sebagai pusat perdagangan).

Triyono -- infokito.wordpress.com

0 komentar:

Posting Komentar