Beratus-ratus tahun lalu, nama Desa Pemulutan yang kini telah berkembang menjadi sebuah Kecamatan di Kabupaten Ogan Ilir (OI) bernama Sudi Mampir. Nama Pemulutan yang kini melekat, diyakini berasal dari sejarah mistis seorang muyang di kawasan tersebut yang menangkap buaya dengan menggunakan getah (molot,
red) pohon pulai.
Cerita ini bukanlah legenda ataupun mitos, sangat diyakini masyarakat Pemulutan. Pasalnya, keturunan muyang tersebut, adalah orang-orang yang kini dikenal masyarakat sebagai pawang buaya. Bagaimana ceritanya? Berikut penusuran Sumeks Minggu.
Menempuh perjalanan ke Desa Pemulutan cukup jauh. Dari jalan raya, Palembang-Indralaya, koran ini harus masuk hingga 7 km masuk ke dalam. Di desa Pemulutan sendiri, beberapa masyarakat yang sempat dibincangi koran ini menyakini asal usul nama Pamulutan berasal dari salah seorang muyang di daerah mereka yang dulu pernah “molot” buaya.
Meski mengetahui banyak cerita seputar puyang tersebut,masyarakat tampaknya enggan bicara lebih lanjut. Karena keturunan langsung dari puyang tersebut menurut mereka hingga kini masih ada. Salah satunya Abdul Hamid (77), warga Desa Pemulutan Ilir.
Abdul Hamid sendiri, dikenal masyarakat luas sebagai pawang buaya. Sejak puluhan tahun lalu, masyarakat luas telah meminta jasa Abdul Hamid untuk mengatasi permasalahan buaya-buaya yang kerap mengganggu masyarakat.
Kesaktian Satu Dari Tujuh BubunganMeski telah berkepala tujuh, sosok Abdulah Hamid ternyata masih gagah. Giginya yang sudah banyak tanggal karena dimakan usia, tak membuat pria yang kepalanya sudah dipenuhi uban ini sulit bicara. Ditemui di kediamannya Kamis (30/8) lalu, Hamid menceritakan, sekitar 800 tahun lalu, di desa Pamulutan terdapat tujuh bubungan (rumah,
red) dianugerahi Allah SWT kesaktian. Kala itu, nama Desa mereka adalah Sudi Mampir.
Kesaktian tersebut, ilmu harimau, buaya, ular, racun, dukun patah tulang, ilmu besi dan kayu serta ilmu menyembuhkan orang gila. Bubungan dimaksud Hamid, adalah rumah orang-orang di kawasan Desa Sudi Mampir. “Mereka masih terbilang keluarga. Rumahnya tidak berdempet. Cukup berjauhan satu sama lain tapi berada di satu desa. Yakni desa Sudi Mampir yang sekarang namanya berubah menjadi Pemulutan,” ujar Hamid.
Dari tujuh bubungan tersebut, bubungan buaya memiliki kisah tersendiri. Karena daerah Pemulutan berada di pinggiran sungai Ogan yang begitu luas, banyak buaya bermunculan. Buaya-buaya ini pun sempat memangsa orang.
Buaya yang memangsa orang ini lanjut Hamid berasal Pamulutan bernama Peti Bongkang, dari Kebun Gede 35 Ilir Raden Tokak, serta dari sungai Goreng Naga Swidak Plaju bernama Tambang Areng.
Melihat masalah ini, muyang dari Pemulutan yang bernama Malik khawatir anak cucunya habis dimakan buaya. Ia kemudian menebang sebuah batang pohon Pulai. Batangnya dilintangkan di sungai. Oleh muyang tersebut, pohon di cacah agar getahnya keluar. Getah yang keluar inilah digunakan untuk menangkap (molot,
red) buaya.
Cara ini menurut Hamid berhasil menangkap buaya yang acapkali berulah, memangsa manusia. Muyang Malik sempat menghunuskan pedangnya berniat membunuh buaya yang kena “polot” terhenti karena kedatangan tiba-tiba, empat orang diyakini sebagai mahluk halus, penunggang buaya tersebut.
Mereka sempat bertanya kepada muyang Malik mengapa sampai menghunus pedang? Sang Muyang menurut Hamid kemudian menjelaskan maksud tujuannya yang hendak membunuh para buaya karena dikhawatirkan akan memakan anak cucunya nanti. Keempat orang ini kemudian berjanji, jika buaya tersebut tidak dibunuh, jika di panggil mereka akan datang dan membantu muyang tersebut termasuk keturunannya terhadap permasalahan seputar buaya.
Janji tersebut memang ditepati. Sejak muyang Malik, jika buaya dipanggil, 10 hingga 15 menit langsung datang. Termasuk dengan empat penunggangnya. Cerita keturunan kedua bernama Kamaluddin bergelar Ratu Jurum pun tak jauh berbeda.
Namun pada keturunan ketiga, bernama Punggawa Cabuk bergelar Raden Jurung hanya buaya saja yang datang. Penunggannya tidak kelihatan hanya suara penunggang yang terdengar. Pada muyang keempat bernama Tunak dengan gelar Raden Kuning, buaya sudah lambat datang, penunggang tidak ada termasuk suaranya.
Pada keturunan kelima bernama Imang bergelar Raden Sentul, buaya tidak lagi datang, namun bisa diusir. Termasuk pada keturunan keenam Abdullah bergelar Raden Intan. Buaya tidak lagi datang, namun bisa diusir.
“Sedangkan saya, generasi ketujuh dengan gelar Pendekar Jurung Jurung Mata Intan, buaya dipanggil tidak lagi datang, diusir masih mau,” jelas Abddulah Hamid.
Hingga kini, tenaga Hamid telah digunakan oleh banyak orang di berbagai daerah untuk mengusir buaya. Dari Desa Tanjung Jumbung, kawasan Muara Tembesi, Serolangun Jambi. Kemudian di Desa Permis serta Serdang Bangka Belitung (Babel), kawasan Selapan,kawasan Gasing Banyuasin hingga ke kawasan Limau Sumbawa.
Bahkan, berkat keahliannya menjinakan buaya, Abdullah Hamid pernah lima tahun tinggal di Singapura. Ia bekerja di sebuah sirkus. “Namanya itu Crocodile show,” tandas Hamid.
Camat Pemulutan Bahrus Syarip MSi didampingi Kasi Pemerintahan Mareta membenarkan adanya keyakinan masyarakat seputar cerita muyang Pemulutan. Hingga kini, nama Pemulutan yang sudah berkembang menjadi Kecamatan memiliki 25 desa.
Seputar sungai Ogan yang melintasi Desa Pemulutan dan sekitarnya hingga kini tetap menjadi tumpuan utama masyarakat. Mayoritas masyarakat, berprofesi sebagai nelayan yang mencari ikan di sungai. Profesi lain, bertani dengan menanam padi dengan hasil panen satu tahun sekali.
(wwn)Kisah Bujang, Buaya Peliharaan Berusia Tiga TahunBuaya-buaya di sungai sepanjang sungai Ogan tampaknya masih cukup banyak. Warga Desa Pamulutan sendiri hingga kini masih sering melihat buaya-buaya berukuran besar menampakan diri di perairan. “Ukurannya jangan ditanya lagi. Sisiknya saja ada yang sebesar genteng,” ucap salah seorang warga Desa Pelabuhan Dalam, Kecamatan Pemulutan Ogan Ilir, kepada Sumeks Minggu beberapa hari lalu.
Itulah mengapa anak-anak buaya seringkali ditemukan warga Kecamatan Pemulutan yang kerap mencari ikan. Para nelayan ini acapkali memberikan anak-anak buaya ditemukan pada Burniat (61), warga Pelabuhan Dalam. Oleh Burniat, anak-anak buaya tersebut di peliharanya.
“Kalau dulu bisa melihar sampai tujuh ekor. Kalau besar, dijual. Sekarang tidak bisa jual lagi. Bisa-bisa ditangkap polisi,” ujar Burniat.
Pun begitu, kebiasan Burniat yang sejak lama hobi memelihara buaya tak juga hilang. Hingga kini, ia masih memiliki seekor buaya diberi nama Bujang.Buaya ini didapatnya tiga tahun lalu. Ketika itu, panjangnya hanya 70-80 cm. Sekarang, panjangnya hampir mencapai tiga meter.
Memelihara buaya ternyata tidak sulit seperti dibayangkan. Burniat mengaku memberi makan buaya hanya dengan potongan kaki atau kepala ayam yang tidak laku dijual dari peternakan. “Kalau sudah besar, seminggu sekali bisa dikasih satu ayam yang sudah mati. Sama sekali tidak keluar uang buat melihara buaya,” ujar Burniat.
Bujang sendiri saat dilihat koran ini berada di sebuah kerangkeng besi. Buaya ini sulit bergerak karena kecilnya kerangkeng yang ada. “Kadang dilepas juga. Tapi kalau kolam saya sedang tidak ada ikan. Kalau lagi ada ikan, habis semua ikannya. Kadang juga pergi dia beberapa hari. Tapi, pasti balik lagi kalau lagi lapar,” ungkap Burniat.
Khusus Bujang samasekali tidak akan dijual oleh Burniat. Hingga kini, Bujang acapkali dipinjam pihak Kecamatan Pemulutan untuk pameran. Pernah juga, sekitar delapan bulan lalu, buaya ini digunakan Panji untuk program TV swasta nasional, Panji si Petualang.
(wwn)
Written by: samuji Selasa, 04 September 2012 12:29 | SumeksMinggu